Rabu, 29 Maret 2017

PROLOG NOVEL DIVISION OF MUTATION RESEARCH

Alam telah rusak. Bumi telah kehilangan banyak untuk sekadar mempertahankan hidup manusia. Tapi seperti biasa, sebagian besar manusia kehilangan kata-kata terima kasih. Seakan hidup tanpa merusak adalah hal yang mustahil.
Kepunahan, ketidakstabilan, dan kelaparan mengancam seluruh manusia yang tak bersalah. Mereka, orang-orang yang mengejar kekayaan pribadi lupa bahwa mereka hidup di planet yang sekarat. Bahwa mereka sama sekaratnya dengan bumi.
Semuanya akan terlambat jika saja sekelompok pecinta alam tidak mulai bergerak bersama. Mereka, pecinta alam itu, memaksa seluruh negara menandatangani pakta perlindungan alam dan membentuk organisasi-organisasi dunia untuk melindungi bumi. Dan DMR, Division of Mutation Research, adalah salah satu di antaranya.
Puluhan tahun DMR menjaga keseimbangan alam dunia dari mutasi genetik. Puluhan tahun, DMR memperbaiki apa yang hampir mustahil diperbaiki. Hingga bumi mulai membaik. Hingga bumi kembali pulih dan hijau.
DMR telah menjadi Divisi penasehat yang mengubah banyak kemajuan teknologi menjadi ramah lingkungan meski harus berhadapan dengan jutaan orang-orang kaya berpangkat yang belum jera untuk merusak.
Dan Indonesia, negara dengan alam asri, tidak lepas dari agenda Divisi. DMR Indonesia dibentuk tiga puluh tahun yang lalu. Hasilnya, nama baik Indonesia sebagai paru-paru dunia tetap dipertahankan.
Namun masalah yang sama tetap muncul. Para politisi penjilat mulai membawa Divisi ke kancah politik. Orang-orang itu menjadikan Divisi sebagai alat kampanye meski dunia telah menetapkan DMR hanya organisasi pecinta alam. Tidak lebih.
Dua tahun sudah Divisi Indonesia di komandoi pemerintah. Sampai akhirnya Danil Guzman Riendra, dikenal dengan nama Dr D, yang berpangkat Ranger DMR, pimpinan tertinggi Divisi untuk satu negara, memilih untuk melepaskan diri dari politik. Sikapnya yang militer dan idealis membawa perubahan dalam tatanan sekaligus menjadikan Divisi tak tersentuh oleh politik. Namun untuk itu, dia menyerahkan kantor utama administrasi di Bogor pada Sub-Ranger. Sementara dia memilih fokus pada perkembangan alam pulau Sidentis.
Beberapa tahun berlalu. DMR Indonesia telah terjun memerangi ketidakharmonisan alam. Mereka telah tercatat sebagai Divisi yang membawa perusak lingkungan ke penjara terbanyak dalam sejarah kriminalitas alam Indonesia. Mereka dihormati, dipuja, dan bahkan dianggap sebagai kelompok pecinta alam terbaik yang pernah ada. Catatan dan arsip tentang pekerjaan mereka telah tertumpuk tidak hanya dalam lemari arsip, namun juga dalam benak masyarakat.
Namun orang-orang tidak menyadari bahwa yang mereka tahu tentang Divisi sungguh kecil. Ada banyak catatan tentang DMR yang tersembunyi dan terkunci rapat yang hanya diketahui oleh sebagian kecil staf sebagai satu-satunya cara untuk melindungi kota. Bahkan negara.
Satu di antara arsip itu adalah tentang seorang pemuda. Seorang pemuda misterius yang tidak jelas asal-usulnya, dan yang kehadirannya telah berpengaruh sangat dalam.
Semua itu diawali dengan dua kejadian di masa lalu.


+++++


Dua puluh tahun lebih sebelum saat ini.
Bogor. Pukul 19.20.
Sebuah mobil sedan melaju pelan di jalanan sepi pinggiran kota. Mobil itu lalu berbelok masuk ke pekarangan salah satu rumah dan berhenti tepat di depan pintu masuk. Lampu mobil dimatikan, dua orang pria membuka pintu, dan turun dari kursi depan tanpa bicara satu sama lainnya.
“Sekali lagi kau lakukan itu, kuhajar kau, Will,” kata pria yang turun dari kursi penumpang akhirnya dengan nada kesal. Dia tetap berdiri dan menatap lawan bicaranya dari balik mobil. “Jika saja bukan karena undangan makan istrimu, aku sudah pulang.”
William, pria yang turun dari kursi kemudi tertawa. “Owh, Come on, Dan,” katanya menenangkan  kekesalan Danil, rekannya itu, dengan logat Inggris. “Kamu hanya ketakutan. It was a drift. And I’m really good for it.”
“Aku benci kau.” Danil membanting pintu.
You lie,” jawab William enteng menutup pintu.
Danil menatap William. “Aku benar-benar benci kau.”
You lie. Again.”
Danil mendesah. “Baik, aku cinta kau, William.”
“Oke, stop it!” William bergidik. “Itu sangat menjijikan.”
Tawa mereka pecah. Dan mereka serentak berjalan menuju pintu rumah.
Namun, tiba-tiba langkah William terhenti. Tubuhnya mematung, tawanya hilang, dan ekspresi wajahnya menjadi tegang dan ketakutan.
Danil berani bersumpah tidak pernah melihat William seperti itu seumur hidupnya. Dia menatap wajah rekannya seksama seakan merasakan hal yang sama. “Will?”
“Dan.” Suara William pelan dan berat. Dia menahan satu perasaan dalam dirinya yang ingin meledak dengan tangan terkepal. “Please tell me you got a gun?”
Danil mengerti. Sungguh dia mengerti ada sesuatu yang tidak beres di dalam rumah.
Dia melihat apa yang ditatap William. Seketika itu, tubuhnya gemetar. Matanya menangkap cipratan darah di jendela kaca dalam rumah.
“Kunci mobil!” pintanya pada William.
William mengambil tergesa kunci dari dalam saku dan memberikannya pada Danil tanpa menoleh.
“Beri aku sepuluh menit,” kata Danil saat membuka pintu mobil. “Tolong jangan bertindak bodoh,… Will.”
William tak menjawab. Dia tetap diam menatap cipratan darah yang masih segar di sana tanpa berkedip. Hanya degup jantung yang keras yang menjawab kata-kata Danil.
Danil tidak membuang waktu. Dia menutup pintu dan menyalakan mobil dengan perasaan tak menentu. Dia menarik persneling dan memundurkan mobil terburu-buru. Lalu melaju kencang di sepanjang jalanan yang tadi dilaluinya dalam tawa dan canda.
Ya, Tuhan!
Ya, Tuhan!
Dia merogoh ponsel di saku celananya dan tergesa-gesa menekan nomor polisi untuk meminta bantuan.
Namun,
“AAAAKH….”
Ya, Tuhan!
William!
Ponsel terjatuh. Namun dia tak peduli dan membanting setir ke kanan untuk berbalik. Suara decit mobil terdengar seperti jeritan wanita tersiksa. Namun suara yang masih tersimpan dalam telinganya hanya teriakan William yang terdengar pilu dan dipenuhi kesakitan yang teramat. Sungguh, dia tidak pernah mendengar teriakan seperti itu seumur hidupnya. Dan tidak pernah terbayangkan sahabatnya akan berteriak sekeras itu.
William! William!
Jangan bodoh!
Jangan bodoh, kawan!
Pedal rem diinjak menciptakan bekas roda sepanjang jalan. Dia membuka pintu kasar, turun dari mobil, dan berlari masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka lebar.
“WIIILL!” panggilnya satu langkah sebelum kakinya menginjak lantai marmer yang berlapiskan karpet hijau. Dia tidak pernah panik seperti itu.
“WI….”
Ya, Tuhan!
Dia tidak akan percaya jika tidak melihatnya sendiri. Melihat satu tubuh wanita, istri William, yang berlumuran darah di atas karpet ruang tamu. Darah yang mengalir dari mulut, hidung, dan kening tubuh itu telah kering menghitam. Dia bersyukur setidaknya mata wanita malang itu tidak membuka karena akan membuatnya bermimpi buruk. Atau mungkin William yang menutupnya.
William?!
Dia teringat kembali tentang William.
William!
Dengan segala keberanian yang masih dimilikinya, dia masuk dan mencari dari kamar ke kamar. Tapi dia tidak menemukan pria Inggris itu. Dan tidak ada satupun tanda William masih berada di dalam rumah.
Dia keluar dan memandang ke segala arah berharap ada satu saja yang bisa memberinya petunjuk. Namun dia tidak mendapat apapun.
Rasa takut, panik, kalut, dan khawatir menyatu jadi satu mematikan akal sehatnya. Begitu mati hingga tidak menyadari sama sekali jejak darah di tanah bekas injakan sepatu William.
“WIIIIL,” teriaknya putus asa. Begitu putus asa.
Aku mohon, katakan dimana kau, kawan!
“WIIIL….”

+++++


Beberapa bulan sebelum saat ini.
Lolak. Sulawesi Utara. Pukul 23.40.
Seorang wanita berteriak histeris mengiba. Rumah susun berlantai lima tempat tinggalnya terbakar di hadapannya. Dia meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari banyak tetangga yang berusaha menahan dirinya. Namun tubuh kurus itu seakan menyimpan tenaga yang melimpah. Dia hampir saja mematahkan lengan satu pria yang mencengkram tangannya.
“Sabar, bu! Sabar, bu!” Begitu orang-orang mencoba menenangkan.
Namun histerisnya bukan karena harta benda. Bukan tentang emas perhiasan yang tersimpan di bawah bantal. Melainkan karena anak balitanya, yang dia tidurkan, masih tertinggal di dalam kamar sebelum kebakaran. Hanya anak itu satu-satunya harta yang berharga setelah suaminya meninggal kecelakaan. Sungguh, kehilangan dua anggota keluarga sama saja mati baginya.
Teriakan histerisnya mendadak terhenti berganti isak tangis kelegaan. Dia melihat seorang pria keluar dari gedung membawa seorang anak, anaknya. Pria itu menyerahkan anak kecil cantik itu kembali ke pelukannya. Tangannya tidak bisa berhenti bergetar saat menerima miliknya yang tersisa itu. Dan isak tangisnya semakin sesak saat anak kecil itu membuka mata dan tertawa kecil saat melihat wajahnya. Wajah sang mama yang tidak berhenti menciumi.
Dia ingin berterima kasih. Dia ingin berlutut bersimpuh di hadapan orang itu. Namun si penolong misterius telah kembali berlari begitu terburu masuk ke dalam gedung yang terbakar tanpa sedikitpun keraguan. Dan sejak itu dia tidak pernah lagi melihat sang penolong itu.
BRAAK….
Penolong misterius menendang pintu kamar di lantai tiga. Api belum menghanguskan tempat itu sama sekali dan itu sangat disyukurinya. Dia kemudian berlari kecil dan masuk ke dalam ruangan tempat tidur dimana seorang pria yang hanya mengenakan celana pendek duduk di tepi ranjang.
Pria yang duduk di tepi ranjang kumuh itu mengangkat kepalanya. “Aku tak percaya kau menemukanku.”
Penolong misterius itu tegak dan tak menjawab. Dia mengambil pisau panjang yang terselip di balik jaket basah yang telah diasahnya sedemikian tajam.
Pria itu bangkit saat kilatan pisau mengenai matanya, dan menatap balik. Sayangnya, api yang berada di belakang lawannya menciptakan siluet dan membuatnya sulit melihat raut wajah si pemegang pisau. Tapi dia tahu orang itu menggeram marah.
“Jadi, Saya lihat kau sudah siap untuk ini?”
“Ada kata terakhir?” Penolong misterius menggenggam erat pisau di tangannya. Dirinya sudah sangat gatal mencabik-cabik pria paruh baya di hadapannya.
“Ada,” jawab pria itu dengan tenang. Dia kemudian memejamkan matanya sedetik. “Saya minta maaf. Sungguh, saya minta maaf. Jujur saja, untuk semua yang sudah saya lakukan, kamu boleh membunuh saya.”
Penolong misterius itu mendengus dan memasang kuda-kuda untuk menikam. Tubuhnya condong ke depan bersiap jika saja dirinya diserang atau calon korbannya melarikan diri.
“Tapi,” lanjut pria itu tenang. Nada bicaranya tidak sedikitpun menunjukkan kekhawatiran meski sadar bahwa mungkin besok tidak akan melihat matahari lagi. Dia hanya melemaskan otot lehernya yang masih kaku. “Maukah kau mendengarkan sedikit saja dari semua yang aku tahu?”