Alam telah rusak. Bumi telah kehilangan banyak untuk sekadar
mempertahankan hidup manusia. Tapi seperti biasa, sebagian besar manusia kehilangan kata-kata terima kasih. Seakan
hidup tanpa merusak adalah hal yang mustahil.
Kepunahan,
ketidakstabilan, dan kelaparan mengancam seluruh manusia yang tak bersalah. Mereka,
orang-orang yang mengejar kekayaan pribadi lupa bahwa mereka hidup di planet
yang sekarat. Bahwa mereka sama sekaratnya dengan bumi.
Semuanya akan terlambat jika saja sekelompok pecinta alam tidak mulai bergerak bersama.
Mereka, pecinta alam itu, memaksa seluruh negara menandatangani pakta
perlindungan alam dan membentuk organisasi-organisasi dunia untuk melindungi bumi. Dan DMR, Division of
Mutation Research,
adalah salah satu di antaranya.
Puluhan tahun DMR menjaga keseimbangan
alam dunia dari mutasi genetik. Puluhan tahun, DMR memperbaiki apa yang hampir mustahil
diperbaiki. Hingga bumi mulai membaik. Hingga bumi kembali pulih dan hijau.
DMR telah menjadi Divisi penasehat yang mengubah banyak kemajuan teknologi
menjadi ramah lingkungan meski harus berhadapan dengan jutaan orang-orang kaya berpangkat yang belum jera untuk merusak.
Dan Indonesia, negara
dengan alam asri, tidak lepas dari agenda Divisi.
DMR Indonesia
dibentuk tiga puluh tahun yang lalu. Hasilnya, nama baik Indonesia sebagai paru-paru
dunia tetap dipertahankan.
Namun masalah yang sama tetap muncul. Para politisi penjilat
mulai membawa Divisi ke kancah politik.
Orang-orang itu menjadikan Divisi sebagai alat kampanye
meski dunia telah menetapkan DMR hanya organisasi pecinta alam. Tidak lebih.
Dua tahun sudah Divisi Indonesia di komandoi
pemerintah. Sampai akhirnya Danil Guzman Riendra, dikenal dengan nama Dr D, yang
berpangkat Ranger DMR, pimpinan tertinggi Divisi untuk satu negara, memilih untuk
melepaskan diri dari politik. Sikapnya yang militer dan idealis membawa
perubahan dalam tatanan sekaligus
menjadikan Divisi tak tersentuh oleh politik. Namun untuk itu, dia
menyerahkan kantor utama
administrasi di Bogor pada Sub-Ranger. Sementara dia memilih fokus pada
perkembangan alam pulau Sidentis.
Beberapa tahun berlalu. DMR Indonesia telah terjun memerangi
ketidakharmonisan alam. Mereka telah tercatat sebagai Divisi yang
membawa perusak lingkungan ke penjara terbanyak dalam sejarah kriminalitas alam Indonesia. Mereka
dihormati, dipuja, dan bahkan dianggap sebagai kelompok pecinta alam terbaik yang pernah ada. Catatan
dan arsip tentang pekerjaan mereka telah tertumpuk tidak hanya dalam lemari arsip, namun juga
dalam benak
masyarakat.
Namun orang-orang tidak menyadari bahwa yang mereka tahu
tentang Divisi sungguh kecil. Ada banyak catatan tentang DMR
yang tersembunyi dan terkunci rapat yang hanya diketahui oleh sebagian kecil
staf sebagai satu-satunya cara untuk melindungi kota. Bahkan negara.
Satu di antara arsip itu adalah tentang seorang pemuda. Seorang pemuda misterius yang tidak
jelas asal-usulnya, dan yang kehadirannya telah berpengaruh sangat dalam.
Semua itu diawali dengan dua kejadian di masa lalu.
+++++
Dua puluh tahun lebih
sebelum saat ini.
Bogor. Pukul 19.20.
Sebuah mobil sedan melaju pelan di jalanan sepi pinggiran
kota. Mobil itu lalu
berbelok masuk ke
pekarangan salah satu rumah dan berhenti tepat di depan pintu masuk. Lampu
mobil dimatikan, dua orang pria membuka pintu, dan turun dari kursi depan tanpa bicara satu sama lainnya.
“Sekali lagi kau lakukan itu, kuhajar kau, Will,” kata pria
yang turun dari kursi penumpang akhirnya dengan nada kesal. Dia tetap berdiri
dan menatap lawan bicaranya dari balik mobil. “Jika saja bukan karena undangan makan istrimu, aku sudah pulang.”
William, pria yang turun dari kursi kemudi tertawa. “Owh, Come on, Dan,” katanya menenangkan kekesalan Danil, rekannya itu, dengan logat Inggris. “Kamu hanya
ketakutan. It was a drift. And I’m
really good for it.”
“Aku benci kau.” Danil membanting pintu.
“You lie,” jawab
William enteng menutup pintu.
Danil menatap William. “Aku benar-benar benci kau.”
“You lie. Again.”
Danil mendesah. “Baik, aku cinta kau, William.”
“Oke, stop it!”
William bergidik. “Itu sangat menjijikan.”
Tawa mereka pecah. Dan mereka serentak berjalan menuju pintu
rumah.
Namun, tiba-tiba langkah William terhenti. Tubuhnya mematung, tawanya hilang, dan ekspresi wajahnya menjadi tegang
dan ketakutan.
Danil berani
bersumpah tidak
pernah melihat William seperti itu seumur hidupnya. Dia menatap wajah rekannya seksama seakan
merasakan hal yang sama. “Will?”
“Dan.” Suara William pelan dan berat. Dia menahan satu
perasaan dalam dirinya
yang ingin meledak dengan tangan terkepal. “Please tell me you got a gun?”
Danil mengerti. Sungguh dia mengerti ada sesuatu yang tidak beres di dalam
rumah.
Dia melihat apa yang
ditatap William. Seketika itu, tubuhnya
gemetar. Matanya menangkap cipratan darah di jendela kaca dalam rumah.
“Kunci mobil!” pintanya pada
William.
William mengambil
tergesa kunci dari
dalam saku dan memberikannya pada Danil tanpa menoleh.
“Beri aku sepuluh menit,” kata Danil saat membuka pintu
mobil. “Tolong jangan bertindak bodoh,… Will.”
William tak menjawab. Dia tetap diam
menatap cipratan
darah yang masih segar di sana
tanpa berkedip.
Hanya degup jantung yang keras yang menjawab kata-kata Danil.
Danil tidak
membuang waktu. Dia menutup pintu dan menyalakan mobil dengan perasaan tak menentu. Dia menarik persneling dan memundurkan mobil terburu-buru. Lalu melaju kencang di
sepanjang jalanan yang tadi dilaluinya dalam tawa dan canda.
Ya, Tuhan!
Ya, Tuhan!
Dia merogoh ponsel di saku
celananya dan tergesa-gesa menekan nomor polisi untuk meminta
bantuan.
Namun,
“AAAAKH….”
Ya, Tuhan!
William!
Ponsel terjatuh. Namun
dia
tak peduli dan membanting setir ke
kanan untuk berbalik. Suara decit mobil
terdengar seperti jeritan wanita tersiksa. Namun suara yang masih tersimpan dalam telinganya hanya teriakan William yang terdengar pilu dan
dipenuhi kesakitan yang teramat. Sungguh, dia tidak pernah
mendengar teriakan seperti
itu seumur hidupnya.
Dan tidak pernah terbayangkan sahabatnya akan berteriak sekeras itu.
William! William!
Jangan bodoh!
Jangan bodoh, kawan!
Pedal rem diinjak menciptakan bekas roda sepanjang jalan. Dia membuka pintu kasar, turun dari mobil, dan berlari masuk ke dalam rumah yang pintunya
terbuka lebar.
“WIIILL!” panggilnya satu langkah sebelum kakinya menginjak
lantai marmer yang berlapiskan karpet hijau. Dia tidak pernah panik seperti itu.
“WI….”
Ya, Tuhan!
Dia tidak akan percaya
jika tidak melihatnya sendiri. Melihat satu tubuh wanita, istri William, yang berlumuran
darah di atas karpet ruang tamu. Darah yang mengalir dari mulut, hidung, dan
kening tubuh itu telah kering menghitam. Dia bersyukur setidaknya mata wanita
malang itu tidak membuka karena akan membuatnya bermimpi buruk. Atau mungkin
William yang menutupnya.
William?!
Dia teringat kembali
tentang William.
William!
Dengan segala keberanian yang masih dimilikinya, dia masuk
dan mencari dari kamar ke kamar. Tapi dia tidak menemukan pria Inggris itu. Dan tidak ada
satupun tanda William masih berada di dalam rumah.
Dia keluar dan memandang ke segala arah berharap ada satu saja yang bisa
memberinya petunjuk. Namun dia tidak mendapat apapun.
Rasa takut, panik, kalut, dan khawatir menyatu jadi satu
mematikan akal sehatnya. Begitu
mati hingga
tidak menyadari sama sekali jejak
darah di tanah bekas injakan sepatu William.
“WIIIIL,” teriaknya putus asa. Begitu putus asa.
Aku mohon, katakan dimana kau, kawan!
“WIIIL….”
+++++
Beberapa bulan
sebelum saat ini.
Lolak. Sulawesi Utara.
Pukul 23.40.
Seorang wanita berteriak histeris mengiba. Rumah susun
berlantai lima tempat tinggalnya terbakar di hadapannya. Dia meronta-ronta
mencoba melepaskan diri dari banyak tetangga yang berusaha menahan dirinya. Namun tubuh kurus
itu seakan menyimpan tenaga yang melimpah. Dia hampir saja mematahkan lengan satu pria yang mencengkram tangannya.
“Sabar, bu! Sabar, bu!”
Begitu orang-orang mencoba menenangkan.
Namun histerisnya bukan karena harta
benda. Bukan tentang emas perhiasan yang
tersimpan di bawah bantal. Melainkan karena anak balitanya, yang dia tidurkan, masih tertinggal di dalam kamar sebelum kebakaran. Hanya anak itu satu-satunya harta yang berharga setelah suaminya meninggal kecelakaan. Sungguh, kehilangan dua anggota
keluarga sama saja mati baginya.
Teriakan histerisnya mendadak terhenti berganti isak tangis kelegaan. Dia melihat seorang pria keluar dari
gedung membawa seorang anak, anaknya. Pria itu menyerahkan anak kecil cantik itu kembali ke pelukannya. Tangannya tidak
bisa berhenti bergetar saat menerima miliknya yang tersisa itu. Dan isak tangisnya semakin sesak saat anak kecil itu membuka mata dan
tertawa kecil saat melihat wajahnya. Wajah sang mama yang tidak berhenti
menciumi.
Dia ingin berterima
kasih. Dia ingin berlutut bersimpuh di hadapan
orang itu. Namun si
penolong misterius telah kembali berlari begitu terburu masuk ke dalam gedung yang terbakar
tanpa sedikitpun keraguan. Dan sejak
itu dia tidak pernah lagi melihat sang
penolong itu.
BRAAK….
Penolong misterius menendang pintu
kamar di lantai tiga. Api belum menghanguskan tempat itu sama sekali dan itu
sangat disyukurinya. Dia kemudian berlari kecil dan masuk ke dalam ruangan tempat tidur dimana seorang pria yang
hanya mengenakan celana pendek duduk di tepi ranjang.
Pria yang duduk di tepi ranjang kumuh itu mengangkat kepalanya.
“Aku tak percaya kau menemukanku.”
Penolong misterius itu tegak dan tak menjawab. Dia
mengambil pisau panjang yang terselip di balik jaket basah yang telah diasahnya
sedemikian tajam.
Pria itu bangkit saat kilatan pisau mengenai matanya, dan menatap balik. Sayangnya, api yang
berada di belakang lawannya menciptakan siluet dan membuatnya sulit melihat
raut wajah si pemegang pisau. Tapi dia tahu orang
itu menggeram marah.
“Jadi, Saya
lihat kau sudah siap untuk ini?”
“Ada kata terakhir?” Penolong misterius menggenggam erat pisau
di tangannya.
Dirinya sudah sangat gatal mencabik-cabik pria paruh baya di hadapannya.
“Ada,” jawab pria itu dengan tenang. Dia kemudian memejamkan
matanya sedetik. “Saya minta maaf. Sungguh, saya minta maaf. Jujur saja, untuk semua yang sudah saya lakukan, kamu boleh membunuh saya.”
Penolong misterius itu mendengus dan memasang kuda-kuda
untuk menikam. Tubuhnya
condong ke depan bersiap jika saja dirinya diserang atau calon korbannya
melarikan diri.
“Tapi,” lanjut pria itu tenang. Nada
bicaranya tidak sedikitpun menunjukkan kekhawatiran meski sadar bahwa mungkin
besok tidak akan melihat matahari lagi. Dia hanya
melemaskan otot lehernya yang masih kaku. “Maukah
kau mendengarkan sedikit saja dari semua yang aku tahu?”
Follow @rharkim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar