Kamis, 28 Januari 2016

"Yakin ingin menjadikan pengasuh sebagai cinta pertama sang anak?"

Seorang siswi pernah berkata pada saya, "Bang, saya rencananya nanti nikahnya pas umur 30 tahun. Mau karir dulu sampai banyak tabungan baru nikah. Ntar kalo dah banyak tabungannya, bisa bikin usaha ndiri. Kan nikah tu gampang aja bang."

Saya sedikit tersentak, namun dengan cepat menjawab untuk membantahnya, "Nikah mah emang gampang. Tau susahnya apa?"

"Apa bang?"

"Mencari laki-laki yang baik, yang karirnya menjanjikan, yang sholeh, yang menyayangi keluarga, yang setia, dan -- yang terpenting -- mau nikah sama wanita pengejar karir berumur 30 tahun."

Siswi saya sedikit terhenyak dengan pernyataan saya, namun masih mencoba membela diri, "Terus, ngapain kuliah, bang, kalau ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga?"

Saya menjawab, "Ada perbedaan yang nyata antara wanita berpendidikan dengan tak berpendidikan dalam pendamping suami dan merawat anak. Istri yang berpendidikan selalu mencari solusi saat keluarganya ditimpa masalah, bukan mencari-cari kesalahan suami. Ibu yang berpendidikan akan menjadi ensiklopedia bagi anaknya, bukan menjadi ibu yang selalu marah-marah saat anaknya kepo."

"Sepenting itu ya bang?" Katanya lagi. "Tapi kan ada pengasuh bang yang bisa membantu merawat anak?"

"Yakin mau jadikan pengasuh sebagai cinta pertama anak nantinya? Nanti jadi blunder."

Siswi saya terdiam sejenak. Saya melihat ada keinginan untuk membantah. Tapi beberapa saat kemudian dia mengangguk pelan. Dan itu sudah cukup bagi saya untuk membuatnya memahami pentingnya peran seorang ibu, meski saat ini dia maskih berseragam putih abu-abu.

Saya menasehati di akhir obrolan. "Mungkin adek merasa karir sangat penting bagi wanita. Tapi pria yang baik lebih menginginkan istri yang akan menjadi manajer untuk rumah dan anaknya. Bukan istri yang akan menjadi manajer untuk perusahaan dan anak orang lain."

__ RH Arkim __


Tidak ada komentar:

Posting Komentar